Education Of Law

Minggu, 30 April 2017

SYARAT PENETAPAN AHLI WARIS

  1. Surat Permohonan Rangkap 4
  2. Foto copy KTP Pemohon / Para Pemohon
  3. Foto copy Kartu Keluarga Pewaris
  4. Foto copy Kartu Keluarga Orang Tua Pewaris
  5.  Foto copy Surat Nikah Pewaris
  6. Foto copy Surat Nikah Orang Tua Pewaris
  7. Foto copy Surat Kematian Orang Tua Pewaris
  8. Surat Keterangan Ahli Waris dari Desa yang diketahui Camat (asli)
  9. Membayar Panjer biaya perkara
Sumber : www.pa-malangkab.go.id

Minggu, 05 Maret 2017

HUKUM ACARA PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

Pengadilan Hubungan Industrial merupakan Pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan umum. Dasar hukum pembentukan Pengadilan Hubungan Industrial adalah Undang - Undang No.2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Pengadilan Hubungan Industrial berwenang menyelesaikan sengketa / perselisihan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja / buruh atau serikat pekerja / serikat buruh, karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, perselisihan antara serikat pekerja/ serikat buruh dengan serikat pekerja / serikat buruh dalam satu perusahaan.

Sebelum lahirnya Pengadilan Hubungan Industrial, pemeriksaan dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial dilakukan oleh Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Tingkat Daerah (P4 D) dan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Tingkat Pusat (P4 P) (vide Undang - Undang No. 22 Tahun 1957 dan Undang - Undang No. 12 Tahun 1964).

Dengan berlakunya Undang - Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, maka kewenangan untuk memeriksa dan mengadili perkara perselisihan hubungan industrial atau perselisihan perburuhan yang selama ini menjadi beban tugas Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Tingkat Daerah (P4 D) beralih menjadi wewenang mutlak Pengadilan Hubungan Industrial.

Pengajuan Gugatan Pengadilan Hubungan Industrial

Pasal 81 : Gugatan perselisihan hubungan industrial diajukan kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan. Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja.

Pasal 82 : Gugatan oleh pekerja/buruh atas pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159 dan Pasal 171 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 1 (satu) tahun sejak diterimanya atau diberitahukannya keputusan dari pihak pengusaha.

Pasal 83 : (1) Pengajuan gugatan yang tidak dilampiri risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi, maka hakim Pengadilan Hubungan Industrial wajib mengembalikan gugatan kepada penggugat. (2) Hakim berkewajiban memeriksa isi gugatan dan bila terdapat kekurangan, hakim meminta penggugat untuk menyempurnakan gugatannya.

Pasal 84 : Gugatan yang melibatkan lebih dari satu penggugat dapat diajukan secara kolektif dengan memberikan kuasa khusus.

Pasal 85 : (1) Penggugat dapat sewaktu-waktu mencabut gugatannya sebelum tergugat memberikan jawaban. (2) Apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan itu, pencabutan gugatan oleh penggugat akan dikabulkan oleh Pengadilan Hubungan Industrial hanya apabila disetujui tergugat. 

Pasal 86 : Dalam hal perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan diikuti dengan perselisihan pemutusan hubungan kerja, maka Pengadilan Hubungan Industrial wajib memutus terlebih dahulu perkara perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan.
 

Pasal 87 : Serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha dapat bertindak sebagai kuasa hukum untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mewakili anggotanya. ( dasar hukum : Undang - Undang No.2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial).

Note : khusus di dalam Pengadilan Hubungan Industrial tidak berlaku sama terhadap tatacara Hukum Acara Perdata yang memiliki Upaya Hukum lain yang dapat digunakan apabila terjadi putusan sela. Apabila pihak tergugat tidak juga  hadir dalam persidangan, maka Hakim akan memutus dengan putusan verstek dan tidak diperkenankan bagi pihak tergugat untuk melakukan upaya hukum lainnya.

Sumber : Materi Pendidikan Profesi Advokat Univ.Widyagama angkatan 6

Sabtu, 04 Maret 2017

HUKUM ACARA PERDATA (I)

A. Pengertian Hukum Acara Perdata
     Terdapat beberapa definisi hukum acara perdata yang dikemukakan para pakar hukum diantaranya :
  • Menurut Sudikno Mertokusumo, hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum materiil dengan hakim.
  • Abdulkadir Muhammad, hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang berfungsi untuk mempertahankan berlakunya hukum perdata. Atau karena tujuannya memintakan keadilan lewat hakim, hukum acara perdata dirumuskan sebagai peraturan hukum yang mengatur proses penyelesaian perkara perdata lewat hakim (pengadilan) sejak dimajukannya gugatan sampai dengan pelaksanaan keputusan hakim.
  • Hukum acara perdata (hukum formil) adalah hukum yang mengatur tentang mekanisme / atau prosedur beracara dimuka pengadilan bagi orang-orang yang sedang menyelesaikan perkara perdata, mulai dari pendaftaran perkara di pengadilan sampai dengan perkara tersebut mendapatkan putusan dari pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewisjde) bahkan juga mengatur tentang mekanisme beracara bagi seseorang yang melakukan upaya hukum biasa (banding, kasasi) dan luar biasa (peninjauan kembali, denderverzet). 
     Hukum acara perdata ini sangat penting bagi Hakim, Avokat, dan Panitera, serta mahasiswa fakultas hukum sebagai pengetahuan dan pegangan pokok "aturan main" sehari-hari dalam menyelesaikan perkara-perkara perdata. Sedangkan hukum perdata materiil atau hukum perdata adalah hukum yang memuat hak dan kewajiban orang dalam pergaulan hidup bermasyarakat.
     Mengenai tindakan menghakimi sendiri terdapat tiga pendapat, yaitu :
  1. Bahwa tindakan menghakimi sendiri itu sama sekali tidak dibenarkan (Van Bonevel Faure). Alasannya ialah hukum acara telah penyediakan upaya-upaya untuk memperoleh perlindungan hukum bagi para pihak melalui pengadilan, maka tindakan-tindakan diluar upaya-upaya tersebut dapat dianggap sebagai tindakan menghakimi sendiri, dan tindakan tersebut dilarang.
  2. Bahwa tindakan menghakimi sendiri pada asasnya diperbolehkan atau dibenarkan, dengan pengertian bahwa yang melakukannya dianggap melakukan perbuatan melawan hukum (cleveringa). Pada hakikatnya tindakan inipun tidak dapat dibenarkan, sebab bila hal tersebut tetap dilakukan akan ada akibat hukumnya, yaitu dianggap melakukan perbuatan melawan hukum sehingga terikat untuk membayar ganti kerugian.
  3. Bahwa tindakan menghakimi sendiri pada dasarnya tidak dibenarkan, akan tetapi apabila peraturan yang ada tidak cukup memberi perlindungan hukum, maka tindakan menghakimi sendiri itu secara tidak tertulis tidak dibenarkan (rutten). 
     Di dalam hukum acara perdata tidak kita jumpai ketentuan yang tegas melarang tindakan menghakimi sendiri. Larangan main hakim sendiri terdapat dalam putusan MA 10 desember 1973 no. 366K/Sip/1973. Kecuali bahwa tindakan menghakimi sendiri itu merupakan perbuatan melawan hukum, juga dapat dihukum (antara lain pasal 167 dan pasal 406 KUHP).
    Tuntutan hak seperti yang telah diuraikan diatas sebagai tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan hukum yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah main hakim sendiri.
     Ada 2 macam tuntutan hak, yaitu :
  1. Tuntutan hak yang mengandung sengketa, yang disebut gugatan, dimana terdapat sekurang-kurangnya dua pihak.
  2. Tuntutan hak yang tidak mengandung sengketa disebut permohonan, dimana hanya terdapat satu pihak saja.
     Konsekuensi dari adanya dua macam tuntutan hak diatas, maka lazimnya dikenal dua bentuk peradilan perdata yaitu :
  • Volunteer (voluntaire jurisdictie), yang sering juga disebut peradilan sukarela atau peradilan yang tidak sesungguhnya.
  • Contentieus (contentieus jurisdictie) atau peradilan sesungguhnya. Tuntutan sengketa termasuk peradilan volunteer, sedangkan gugatan termasuk peradilan contentieus.
     Pada umumnya orang berpendapat bahwa yang termasuk peradilan volunteer ialah semua perkara yang oleh undang-undang ditentukan harus diajukan dengan permohonan, sedang selebihnya termasuk peradilan contetieus.
     Dari apa yang telah diuraikan diatas dapatlah kita simpulkan, bahwa obyek dari pada ilmu pengetahuan hukum acara perdata ialah keseluruhan peraturan yang bertujuan melaksanakan dan mempertahankan atau menegakkan hukum perdata materiil dengan perantaraan kekuasaan negara. Perantaraan negara dalam mempertahankan hukum materiil perdata itu terjadi dengan peradilan. Yang dimaksud Peradilan adalah pelaksanaan hukum dalam hal konkret adanya tuntutan hak, fungsi mana dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh apapun atau siapapun dengan cara memberikan keputusan yang bersifat mengikat dan bertujuan mencegah adanya main hakim sendiri.

Sumber : Materi Pendidikan Profesi Advokat Univ. Widyagama angkatan 6 

MEKANISME BERACARA DI MUKA PENGADILAN DALAM PERKARA PERDATA


1. Penggugat mengajukan gugatan (perkaranya/tuntutannya) dengan cara mendaftarkan gugatannya kepada Pengadilan yang berwenang.
2. Setelah gugatan/perkara didaftarkan, pendaftar gugatan membayar biaya perkara "uang muka" di bank yang ditunjuk dan kemudian mendapatkan nomor perkara yang diberikan oleh bagian pendaftaran gugatan.
3. Dengan adanya pendaftaran gugatan tersebut, Ketua Pengadilan mengeluarkan penetapan tentang penunjukan majelis hakim yang akan memeriksa perkara tersebut. Kemudian majelis hakim yang ditunjuk menentukan hari dan tanggal sidang.
4. Setelah majelis hakim menentukan hari sidang, kemudian memerintahkan kepada jurusita untuk memanggil kedua belah pihak yang berperkara agar supaya hadir pada hari dan tanggal sidang yang telah ditetapkan. Jurusita harus bertemu langsung dengan orang yang bersangkutan atau meminta pejabat desa (Rt, Rw, Kepala Desa) jika jurusita tidak bertemu dengan orang yang bersangkutan untuk menyampaikan surat panggilan tersebut.
5. Pada sidang pertama, majelis hakim membuka sidang dan menyatakan sidang terbuka untuk umum. Majelis hakim menawarkan kepada kedua belah pihak untuk melakukan perdamaian, jika perdamaian tidak tercapai, maka majelis hakim memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak yang berperkara untuk melakukan mediasi dengan menunjuk hakim tunggal. Kemudian berkas perkara diserahkan kepada hakim mediasi untuk melakukan mediasi guna tercapainya perdamaian. Majelis hakim memberi waktu kepada hakim mediasi selama 40 hari untuk melakukan mediasi perdamaian, hal ini sesuai dengan ketentuan Undang-Undang no.30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
  • Berdasarkan PERMA No. 1/2008 maka para pihak yang berperkara diharuskan melakukan mediasi. Mediasi dilakukan secara tertutup, artinya hanya para pihak yang berperkara dan hakim mediator saja yang melakukan mediasi. Para pihak tidak boleh mempublikasikan hasil mediasi tersebut ke khalayak umum kecuali telah disepakati untuk dipublikasikan. Jika mediasi ini ditinggalkan oleh hakim yang menyidangkan perkara ini, maka hal tersebut dianggap melakukan pelanggaran terhadap ketentuan pasal 130 HIR/ 154 Rbg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum (pasal 2 ayat 3)
6. Jika para pihak sepakat dengan upaya perdamaian tersebut, maka majelis hakim memutus perkara tersebut dan perkara tersebut dianggap selesai. Kemudian hakim membuat akta perdamaian dan kedua belah pihak harus mentaati isi dari akta perdamaian tersebut. Akta perdamaian mempunyai kekuatan seperti putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Terhadap putusan perdamaian ini tidak diperkenankan untuk mengajukan upaya hukum banding dan kasasi bahkan upaya hukum luar biasa.
7. Jika upaya perdamaian yang dilakukan oleh hakim mediasi tidak tercapai maka perkara tersebut akan dikembalikan kepada majelis hakim yang menyidangkan perkara dan sidang akan dilanjutkan kembali sesuai dengan hukum acara perdata yang berlaku dengan agenda mendengarkan jawaban dari tergugat.
8. Kemudian setelah tergugat menjawab, sidang penggugat diberi kesempatan untuk menanggapi jawaban Tergugat "Replik".
9. Selanjutnya Tergugat diberi kesempatan untuk menanggapi tanggapan penggugat "Replik" dengan mengajukan tanggapannya "Duplik", hal ini terkenal dengan sebutan "jawab - menjawab" antara penggugat dan tergugat. Pemeriksaan jawab-menjawab ini dilakukan untuk mengetahui dan menentukan pokok perkara secara utuh.
10. Jika jawab-menjawab yang dilakukan oleh penggugat dan tergugat dianggap cukup dan selesai oleh majelis hakim, maka sidang berikutnya adalah acara pembuktian.
11. Dalam pemeriksaan acara pembuktian, penggugat diberi kesempatan pertama untuk membuktikan gugatannya dengan mengajukan bukti-bukti surat yang dimiliki dan saksi-saksi bahkan sumpah, kemudian pihak tergugat akan melakukan hal yang sama seperti penggugat yaitu mengajukan bukti-bukti dan saksi bahkan sumpah. Dalam dunia praktik biasanya pengajuan alat-alat bukti tersebut tidak dilakukan seketika tetapi bisa juga diajukan pada sidang berikutnya, artinya selama sidang belum memasuki acara pengajuan kesimpulan dari masing-masing pihak, pengajuan alat-alat bukti diperkenankan "fleksible".
12. Setelah pemeriksaaan alat-alat bukti surat dilanjutkan dengan acara pemeriksaan saksi-saksi, baik dari penggugat dan tergugat. Pada acara pemerksaan saksi-saksi ini biasanya memakan waktu yang cukup lama.
13. Jika acara pembuktian dianggap selesai, maka majelis hakim menunda acara sidang dengan memerintahkan kepada para pihak untuk mengajukan kesimpulan (dalam hukum acara perdata tidak mengnal kesimpulan). Kesimpulan ini sangat penting dan bisa memperingan pekerjaan hakim dalam membuat suatu putusan.
14. Kemudian setelah pengajuan kesimpulan dilanjutkan sidang dengan agenda pembacaan putusan.
15. Apabila salah satu pihak menganggap putusan hakim kurang adil "tidak menerima", maka ia dapat mengajukan permohonan banding dalam jangka waktu 14 hari sesudah putusan diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.
16. Jika salah satu pihak tidak menerima atas putusan dari Pengadilan Tinggi "Putusan Banding", maka para pihak disediakan upaya hukum kasasi. Putusan mahkamah agung "Putusan Kasasi" tersebut merupakan upaya terakhir dan merupakan putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (Inkcraht Van Gewisjd).
         Selain ada upaya hukum bisasa seperti upaya hukum banding dan kasasi, juga ada upaya hukum luar biasa yaitu upaya hukum peninjauan kembali (PK). Tidak kalah pentingnya terkait dengan upaya Peninjauan Kembali (PK) adalah adanya bukti baru (novum baru), ada kekeliruan yang nyata didalam putusan sebelumnya dan ada pertentangan antara putusan yang satu dengan putusan yang lainnya (perkara lain) yang terkait dengan perkara yang bersangkutan.

Sumber : Materi Pendidikan Profesi Advokat Univ. Widyagama angkatan 6

HUKUM PERIKATAN

A. Perikatan pada umumnya

1. Sistem Pengaturan Hukum Perikatan Dalam KUH Pdt
    Hukum Perikatan diatur dalam buku III KUH Pdt bab I s/d bab IV :
    Bab I   : Tentang Perikatan pada umumnya
    Bab II  : Tentang Perikatan yang lahir/terbit karena perjanjian
    Bab III : Tentang Perikatan yang lahir/terbit karena undang-undang
    Bab IV : Tentang hapusnya Perikatan

   Buku II KUH Pdt atau BW terdiri dari suatu bagian umum dan bagian khusus. Bagian umum / bab I s/d bab IV memuat peraturan-peraturan yang berlaku bagi perikatan pada umumnya, misalnya tentang bagaimana lahir dan hapusnya perikatan, macam - macam perikatan dan sebagainya. Bagian khusus (bab V s/d XVII) memuat peraturan-peraturan mengenai perjanjian-perjanjian bernama, yaitu perjanjian-perjanjian yang banyak dipakai dalam masyarakat dan yang sudah mempunyai nama-nama tertentu, misalnya jual-beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, perjanjian perburuhan, pemberian (shenking) dan sebagainya. Buku III KUH Pdt menganut azas "kebebasan berkontrak" dalam hal membuat perjanjian, artinya bahwa orang leluasa untuk membuat perjanjian apa saja, asal tidak bertentangan / melanggar ketentuan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Azas ini dapat disimpulkandari pasal 1338 KUH Pdt yang menyatakan bahwa segala perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Sebenarnya yang dimaksudkan pasal ini adalah pernyataan bahwa tiap perjanjian "mengikat" kedua belah pihak. Tetapi dari peraturan ini dapat ditarik kesimpulan adanya azas kebebasan berkontrak seperti tersebut diatas.

Sumber : Hukum Perdata, Komariah, SH, M.Si

Jumat, 04 September 2015

Profile singkat terkait Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang

Mendeskripsikan tentang keunggulan fakultas hukum Universitas Muhammadiyah Malang maka berhubungan dengan segudang prestasi yang telah dicapai, baik dalam bidang akademik maupun non akademik. Namun pada dasarnya yang menjadi keunggulan fakultas hukum Universitas Muhammadiyah Malang adalah bagaimana tiap-tiap individu dapat memahami Ilmu hukum secara komperehensif. Menjadi tupoksi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang dengan mencetak calon-calon Advokat, Notaris, Hakim, Jaksa, dsb, yang memiliki kualitas dan integritas yang tinggi dengan menjunjung nilai-nilai yang terkandung dalam Ideologi Pancasila dan Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tentunya hal tersebut hanya dapat diwujudkan oleh para sarjana yang berlatarbelakang pendidikan hukum. Fakultas hukum Universitas Muhammadiyah Malang sendiri memiliki Visi dan Misi yaitu :

Visi :

Visi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang adalah Menjadikan Fakultas Hukum yang terkemuka dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi hukum yang berkeunggulan di bidang penguasaan dan penerapan ilmu hukum, untuk menghasilkan sarjana hukum yang profesional, humanis dan religius.

Misi :
  1.  Menyelengarakan Pendidikan tinggi hukum yang mendukung terwujudnya supremasi hukum, dengan didasarkan pada  prinsip nilai-nilai keislaman dan keilmuan.
  2.  Menyelengarakan pendidikan tinggi hukum dengan menghasilkan sarjana hukum yang berwawasan global, memahami HAM  dan berjiwa wira usaha (entrepreneurship).